Saturday, July 13, 2013

Selamat Berpuasa Ramadhan 1434 H.



Assalamu alaikum kepada peminat-peminat dan anda yang melayari Blog saya yang tidak seberapa ini. Hari ini sudah genap empat hari kita umat Islam berpuasa dan saya minta maaflah sebab lambat sikit mengucapkan "Selamat Menyambut Ramadhan serta Selamat Berpuasa untuk seluruh Umat Islam".

Sempena Hari Ramadhan yang jatuh pada 1434 Hijrah Tahun Islam dan bersamaan dengan 10 Julai 2013, maka ingin di sini saya menyeru kepada sahabat handai dan rakan taulan semua semoga memperbaiki diri kita dan berazam berubah diri kita dari yang buruk kepada yang baik dan yang baik kepada yang lebih baik. Sekiranya mampu, bagus juga sekiranya anda dapat melakukan suatu "Anjakan Paradigma" ke arah perubahan. Tetapi, bagi yang kurang mampu dengan kaedah itu (macam aku lah tu hehehe), sekurang-kurangnya berubahlah walaupun sedikit. Contohnya, sekiranya tahun lepas Puasa cuma buat 3-4 hari je, cubalah lebihkan bilangan, Insya Allah, akan berhasil mencapai kemuncak penyempurnaan nanti. Tetapi, kalau boleh, puasa lah penuh sebab memang wajib kita berpuasa di bulan Ramadhan ini.

Apa pun, saya ingin memberi ucapan terima kasih banyak-banyak kepada pembaca dan pengikut setia blog yang memberi sokongan padu kepada saya pengarang, dan sedar tak sedar telah pun lebih setahun Blog ini dicipta, syukur pada Allah SWT. Maka di kesempatan ini, saya ucapkan selamat berbahagia kepada anda dan moga-moga puasa anda diterima Allah SWT dan semoga kita diberi kekuatan untuk menghadapi dugaan di bulan Ramadhan ini. Amiin.........



Oleh : Sidi Rijal Tok Kajang - Selamat Berpuasa di bulan Ramadhan

Monday, July 8, 2013

Kisah 37 Pendita Yang Menganut Islam - Oleh Mawlana Sultan-ul Awliya Wal Arifinbillah Sheikh Nazim Haqqani Kubrusi



37 Pendita yang Masuk Islam

BismillahhirRahmanniRahim

Suatu hari saya berjalan bersama Sheikh Abdullah
Fa`iz ad-Daghestani ) di suatu pasar. Seorang
pendeta tua mendatangi Sheikh Faiz, mengucapkan
Assalamu`alaikum dan bersalam dengan beliau.
Sheikh bertanya pada saya, “Wahai Nazhim Effendi,
tahukah engkau siapa orang itu?”

Saya menjawab, “Jika
engkau katakan siapa dia, barulah saya tahu; kalau
tidak… saya harus mengatakan kalau dilihat dari
penampilannya orang itu adalah seorang pendita
Nasrani.”

Sheikh berkata, “Dia adalah salah satu
dari 37 pendita yang diperintahkan untuk menerima
Islam dan dia menerimanya.”

Sheikh Abdullah Faiz mempunyai kekuatan untuk
menjadi jalan bagi terjadinya pertukaran (agama) itu.

Kerana Rasulullah saw yang
memerintahkannya, maka Sheikh harus mencari cara
untuk melaksanakannya. Rasulullah saw meminta
Sheikh untuk mencari 37 pendita di Damaskus dan
membuat mereka masuk Islam, tanpa perlu meninggalkan
penampilan luar dan profesi mereka. Kerana perubahan
itu hanya akan menimbulkan fitnah atau cubaan yang
mereka tidak kuat menanggungnya.

Mereka hanya diminta untuk melaksanakan ibadah sembahyang ketika
dalam keadaan sendirian di ruangan mereka.

Sekarang 30 pendita di antara mereka masih hidup; dan 7 orang lainnya telah meninggal.

Di masa Imam Mahdi as, dalam waktu singkat begitu banyak umat Kristian yang akan
masuk Islam secara terang-terangan.

Sekarang anda
hanya menyaksikan tanda awalnya saja, saya bahkan boleh menghitungnya dengan jemari tangan saya. Itu tidak
ada masalah, karena kita mencari kualiti, bukan
kuantiti.

Imam Mahdi Al Shaahibuz Zaman

Sheikh Abdullah Faiz ad Daghestani mengatakan, menuju
peperangan besar nanti kuantiti tidak menjadi
masalah, yang penting adalah kualiti.  Kelak, satu
pasukan Imam Mahdi as mempunyai kemampuan yang
setara dengan satu batalion tempur yang terkuat yang
pernah ada. Bilapun tercabik-cabik tubuh dan kulitnya
maka tidak akan mempengaruhi kekuatan
mereka sedikitpun.

Ketika Imam Mahdi as muncul, 12 ribu perajurit akan
berdatangan dari lima negara barat, yang hanya
diketahui oleh para auliya Allah.

Dua belas ribu
perajurit ini mempunyai kekuatan fizik dan spiritual
yang dahsyat kerana selalu dalam hadirat Allah Azza wa
Jalla, sebagai tanda iman dan takwa yang sesungguhnya.
Mereka selalu istiqamah, tidak sekalipun merubah
penghadapan mereka dari tatapan Allah dalam setiap
situasi.

Pasukan kafir tidak ada ertinya bagi mereka, hanya
dalam satu tatapan saja pasukan kafir (ingkar) menjadi
debu. Imam Mahdi as berasal dari keturunan
Sayyidina Ali k.w. Ketika Mahdi a.s bertakbir, “Allahu
Akbar !”, mereka bersiap berposisi di gerbang selatan
Damaskus.



Sheikh Nazim Adil Haqqani

Damascus, Syria : 2001

Kajian Agama-Agama Dunia(4) : Manichaesme





Mani  adalah pendiri agama Manikheisme yang hidup pada abad ketiga. Ia dilahirkan di desa Mardinu, di gurun Nahr Kuta, Babilonia Selatan pada 14 April 216.Mani tidak sekadar pendiri agama Manikheisme, ia juga seorang fisuf, astrolog, dan pelukis dari Persia. Pada 277 M, ia harus meninggal karena dieksekusi oleh pemerintahan Persia, tetapi agama yang didirikannya terus bertumbuh dan berkembang.

Menurut sumber-sumber Arab Islam, ayahnya bernama Fatak, seorang bangsawan Persia yang kemudian pindah ke Ktesifon. Disana ia mendapatkan pendidikan yang baik. Pada mulanya ia masuk anggota sekte Gnostik Yahudi, tetapi itu segera ditinggalkannya setelah mendapat wahyu ilahi pada tahun 228 M. Pada tahun 241, ia mulai mengajarkan wahyu yang didapatkannya pada banyak orang. Ia pergi ke Barat Daya India karena ajaran yang disebarkannya tidak terlalu berhasil di tanah kelahirannya sendiri, tetapi justru disitulah ia kemudian berhasil memasukkan penguasa lokal ke dalam agama Mani. pada tahun 242, ia kembali ke Persia dan berhasil mendapatkan perhatian raja Shapur I. Kekagumannya pada agama Mani membuat agama Mani dapat berkembang karena Mani diberikan izin untuk menyebarkan ajarannya di seluruh Imperium Persia/Sassanid. Pengikut agama Mani pun semakin banyak sehingga mampu mengutus penginjil keluar daerah. Tetapi hal ini menimbulkan kecemburuan dari para pendeta Zoroaster yang merupakan agama negara Persia di bawah dinasti Sassanid.Pada tahun 276, setelah raja Bahram I naik takhta, Mani ditangkap dan dipenjara.Ia akhirnya harus tewas karena mengalami penyiksaan yang begitu berat.Selama hidupnya, ia menulis beberapa buku; satu dalam bahasa Persia dan yang lain dalam bahasa Syriac (bahasa Semit yang dekat dengan bahasa Aramaik dari zaman Yesus). Buku inilah yang menjadi sumber utama agama Manikheisme. Sepeninggal Mani, pengikut-pengikutnya mengungsi ke beberapa tempat sehingga tersebarlah ajaran Mani di Mesopotamia, Afrika Utara, Sisilia, Italia dan Spanyol. Tetapi Manikheisme hilang pada abad ke-6.

Manikheisme mengajarkan bahwa terdapat dua kerajaan besar, yaitu kerajaan Terang dan kerajaan Gelap yang sudah berperang sejak awal. Dunia ini muncul sebagai hasil dari peperangan tersebut, karena itulah dunia kemudian dianggap memiliki dua unsur yaitu terang dan gelap atau baik dan jahat. Setiap orang adalah anak terang sekaligus anak gelap, dalam artian jiwa manusia yang baik terjebak dalam tubuh manusia yang sebenarnya jahat. Keselamatan dipahami sebagai tindakan pembebasan jiwa dari genggaman tubuh dengan mempraktekkan askese. Dalam hal ini, penderitaan Yesus dianggap sebagai sesuatu yang semu karena merupakan lambang dari terbelenggunya jiwa dalam tubuh.Agama Mani merupakan gabungan dari Zoroaster, Budha dan Kristen, tetapi ia mengklaim kalau pewahyuannya lebih lengkap dari tiga agama besar ini.

Tata ibadah agama Mani sangat sederhana karena hanya mengulangi rumusan doa tertentu, berpuasa, dan mengakui dosa. Mereka berdoa empat kali sehari yang didahului dengan pembasuhan kaki. Pada waktu beribadah, mereka memandang ke arah matahari atau bulan sebagai sumber terang. Ibadah pada hari Minggu dipandang sebagai penyembahan terhadap terang atau matahari. Puasanya terbagi atas mingguan, bulanan, tahunan. Sakramenpun hanya diikuti oleh orang yang dianggap sebagai golongan sempurna, juga tidak menggunakan anggur karena bagi mereka Kristus tidak berdarah. Ekaristi merupakan peringatan dari terbelenggunya jiwa pada materi (kejahatan).

Mengenai Ajaran Manichaeism petikan dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Mani_(nabi)

Wednesday, July 3, 2013

Berawal dari Hu, Singgah pada God, Telusur Menuju Tuhan...



Berawal dari Hu, Singgah pada God, Telusur Menuju Tuhan









Semenjak pertama mengenal Bahasa Inggris, satu kata yang mengusik saya adalah “God”. Selama puluhan tahun, rasa penasaran itu nongkrong dibenak. Perbedaan penyebutan terhadap Sang Mahakuasa, antara kata Tuhan dan God, berbuntut pada pertanyaan-pertanyaan mengambang. Barangkali, karena yang tertanam di kepala saya adalah pemahaman, bahwa kehadiran sebuah kata, pasti mempunyai rangkaian asal muasal, sebagai jalur dinamika cara berpikir para penggunanya. Bangsa-bangsa yang memakai kata “God” untuk menamai Kausa Prima, tentu memiliki alur argumentasi sendiri. Demikian pula dengan kita, yang memanggilNya dengan Tuhan.
Sayangnya tidak mudah untuk mendapatkan keterangan-keterangan itu secara runtut dan memadat. Perlu penelusuran data, mengais remah-remah informasi. Pengetahuan memang bukan sesuatu yang utuh, glundung begitu saja. Memahami sesuatu adalah proses mengangsur dari pengertian-pengertian kecil.  Ini kewajaran. Saya menyebutnya, perilaku umum dari “homo kreditikus”,  manusia adalah mahluk penyicil. Mengumpulkan apapun sedikit demi sedikit, yang lama-lama dijadikan bukit. Dari soal cara makan, menabung uang, hingga cita-cita. Bukankah segalanya dilakukan secara bertahap?
Karena iseng, pada suatu saat, saya membaca sebuah buku karya Hazrat Inayat Khan. Dari judulnya, terkesan menarik, The Music of Life. Inayat Khan adalah seorang sufi asal India yang juga banyak meneliti tentang musik dan mistik suara. Dalam catatannya, Inayat menulis, bahwa Sang Mahakuasa yang dipanggil dengan beragam nama dalam agama maupun aliran spiritual itu, bermuara pada satu sebutan yaitu Hu. Inayat menyimpulkan ini, setelah melakukan penjelajahan pengalaman dan pengamatan serius terhadap konsep suara. Dia memainkan nada sekaligus melakoni perenungan-perenungan. Baginya, kenyataan material maupun spiritual, berawal dari suara. Vibrasi yang merambat melalui ruang dan waktu memadat jadi bentuk-bentuk dan rasa-rasa. Maka suara menjadi dasar atas segala keadaan atau kejadian. Menjelma warna, kata juga benda-benda.
Hu adalah intisuara, lantas mengejawantah ke beragam keadaan, baik yang terdeteksi indera maupun yang bersifat spiritual. Pada kisaran frekuensi tertentu, suara meeujud jadi kayu, besi, batu-batu dan semacamnya. Dalam fase yang lain, suara juga menjelma sebagai denyut perasaan, kegelisahan, amarah, kepedulian dan sebagainya. Hu merupakan awal dan akhir dari sebuah bunyi yang disebabkan pergerakan benda. Entah itu suara gaduh kereta api, mesin-mesin, teriakan manusia, raungan hewan, tiupan peluit maupun gemerisik daun.
Pada pemahaman mistik sufisme yang didalami Inayat, Hu merupakan abstraksi dari apa yang disebut kehidupan. Termasuk desis nurani, ketika seseorang berdoa atau mengeluh. Nama dari semesta sesungguhnya dan bukan buatan manusia.
Dalam kisah-kisah kitab suci agama-agama besar dunia, percontohan tentang eksistensi Hu, dicantumkan dalam simbol naratif. Intisuara inilah yang dijumpai Muhammad SAW ketika menyepi di Gua Hira, dirasakan Musa sewaktu di puncak Sinai juga Isa tatkala diangkat ke Surga. Seruling Krisna turut serta dicantumkan sebagai simbol atas intisari suara itu. Bunyi serupa yang juga didengar Shiwa saat saat bersemadi di Himalaya. Inayat lalu menarik tafsir, bahwa semangat ketuhanan, sebagaimana yang terekam pada narasi kitab suci, didapatkan melalui interpretasi atas suara kosmik.  Intisari suara atau Hu adalah simbol abstrak yang berusaha di mengerti manusia dalam perjalanannya mengenal Sang Kuasa.
Yang dilakukan Inayat, sesungguhnya adalah menjabar pemahaman tentang konsep Tuhan, lewat jalur kebudayaan. Inayat tidak sedang bersimulasi sekadarnya. Dia pemusik, sufi sekaligus peneliti yang telaten dan tidak main-main. Dia menyelami lautan tanda tanya, untuk mengerti, apa yang sebenarnya di maksud dengan Tuhan itu.
Terus terang, saya terkesima membaca The Music of Life. Sebab sebelum bersinggungan dengan Hazrat Inayat Khan, saya telah tahu, bahwa Hu adalah sebuah kata dari bahasa sansekerta yang berarti “memohon, menyeru”. Tentunya, ini mencengangkan. Sebab memohon atau menyeru adalah kerja pada manifestasi suara, meski batin sekalipun. Dikemudian hari, saya menelusur rantai kata atas Hu ini. Pada bahasa mana lagi digunakan, sekaligus dalam kebudayaan mana lagi konsepnya digunakan.
Proto-Indo-Eropa, sebagai rumpun bahasa tua dunia, memiliki sebuah kosata yang menyerap lema Hu dengan ghut artinya “Sesuatu yang dipanggil”. Ketika diserap dalam Bahasa Proto-Germanic, ghut berubah menjadi guthan. Oleh bahasa Norse Tua, yang digunakan bangsa viking dibilangan Skandinavia, ghutan diserap menjadiGud. Hingga menempel pada bahasa Inggris kuno sebagai God, yang berlaku hingga masa Inggris Modern. Semua mempunyai arti yang sama, yaitu “Sesuatu yang dipanggil, Sumber permohonan”. Kata God sendiri, untuk pertamakalinya digunakan pada manuskrip kuno, Codex Argenteus (silver book) pada abad ke-6 dalam bahasa Gothic, ditulis guĆ¾.
Terdapat pola saling jalin yang sinambung. Kata God yang dipakai hingga kini itu, merupakan jelmaan dari simpul temali bahasa yang sumbernya dari sanskrit. Hu telah mengalami evolusi eja dan tulis, terserap pada beragam bahasa, lalu memuncak padaGod yang tenar sebagai pembahasaan atas Sang Khalik.
Ternyata tak berhenti hanya disitu. Kata Hu juga turut mempengaruhi istilah penting lain. Sebutlah Human. Akarnya masih sama, berinduk kepada sansekerta. Merupakan gabungan dua kata yang saling melengkapi, Hu dengan arti seperti dijelaskan diatas dirangkai dengan kata Manu yang artinya “ciptaan, makhluk yang cerdas”. Tentu terdapat hubungan antara keduanya. Jika Hu diurai dengan penerjemahan lugas yang berarti “Pencipta”, lalu Manu adalah “ciptaan berdayapikir”, maka pengartian “Human” seperti pemahaman terkini, sudah cocok adanya. Pada sisi yang lain, bahasa Indonesia juga mengenal kata “manusia” yang didalamnya terkandung Manu pula. Khusus untuk kata manusia, diserap utuh dari khasanah sanskrit, yaitu “Manusya” dengan arti yang sama dengan Human pada Bahasa Inggris. Manusya diterjemahkan sebagai Ciptaan yang berakal budi, Mankind.
Istilah Hu juga termaktub dalam mitologi-mitologi. Misalnya, Hikayat Tehuti di mesir kuno. Menurut cerita itu, Hu adalah penyuaraan “Mantra agung”, untuk memuja Kekuatan Supranatural tertinggi.  Manuskrip Old Kingdom Pyramid texts, yang diperkirakan ditulis pada 400-2300 SM, menyebut kata itu dengan dengan ejaan “HW”dibaca “HU”. Tentu saja peneraannya menggunakan huruf  hieroglyph. Mantra tersebut dimaksudkan untuk memuja sebuah “Ide besar, Penciptaan”. Dalam senirupa mesir kuno, ide besar penciptaan tadi dilambangkan dengan dengan Manusia berkepala burung. Perwujudan visual yang oleh orang Mesir dipanggil dengan nama Toth. Dikemudian waktu, kata ini diadopsi bahasa Inggris menjadi Thought, artinya memahami lewat pikiran.
Nama Tehuti, merupakan paduan dari tiga kata yaitu Te, Hu, dan Ti. Ketiganya berinduk pada bahasa Proto-Indo-Eropa. Te artinya “kamu”, kemudian bahasa inggris menyerapnya sebagai The. Deret selanjutnya, kata Hu, diartikan “Yang tak terjelaskan” dan terakhir, Ti artinya Dia. Sehingga lengkapnya, Te-Hu-Ti diterjemahkan menjadi “Kamu adalah HU”, “kamu adalah Dia”.
Mitologi Iran yang merupakan turunan budaya Persia juga menyinggung lema Hu pada simbol-simbol kebudayaannya. Sebut saja Huma, sebuah simbol tentang makhluk surgawi yang digambar menyerupai burung Phoenix.  Kata huma dalam mitologi itu, berasal dari Humaya, bahasa iran kuno (Indo Iranian) yang merupakan gandengan dari dua kata, Hu yang berarti “Semangat Ilahiyah” dan Maya yang artinya air. Burung itu memang dimaknai sebagai lambang tentang arus spiritualitas yang bening mengalit seperti air , menuju Ilahi. Selain itu, pada masyarakat Iran kuno, Huma juga diapresiasi sebagai simbol keberuntungan. Orang-orang mengaplikasikan visualnya sebagai jimat-jimat dan ornamen tolak bala. Masa berikutnya, pada tradisi sufistik Iran awal, upaya-upaya pencapaian kebahagiaan dalam laku spiritual, diilustasikan seperti halnya manusia yang berusaha meraih burung Huma. Dia yang berhasil menangkapnya akan bahagia juga beruntung.
Demikian pula, pada kisah-kisah lain yang tersebar didunia. Unsur Hu diambil untuk menandai sesuatu yang istimewa. Misalnya, Terompet Kresna dalam epos besar Mahabharata, di deskripsikan sebagai media untuk mendengungkan suara yang berbunyi Hu. Kosmologi Tibet juga menyertakannya, seperti yang dilukar oleh Giuseppe Tucci, peneliti kebudayaan dan sejarah tibet, yang menulis buku The Religions of Tibet. Dia melansir bahwa orang tibet mempercayai alam semesta tercipta dari “napas” Tuhan yang bernada “Hu Hu” sehingga seluruh karsaNya terbangun dengan indah.
Bahasa Indonesia, memilih kata Tuhan sebagai bahasa representasi atas eksistensi Sang Mahakuasa. Pada sebuah artikel yang pernah termuat di Harian Kompas, ahli bahasa Remy Sylado, menjelaskan dengan menarik mengenai riwayat kemunculan kata ini. “Tuhan” diambil dari kata “Tuan”. Terselipnya huruf  “h” diantaranya adalah kasus biasa yang banyak terjadi dalam bahasa Indonesia. Seperti ‘asut’ menjadi ‘hasut’, ‘utang’ menjadi ‘hutang’, ‘empas’ menjadi ‘hempas’, ’silakan’ menjadi ’silakan. Menurut remy, ini terjadi seiring dengan kasus nominatif dan singularis dalam tatabahasa Sansekerta ke Kawi dan Jawa. Misalnya tertulis ‘hana’ dibaca ‘ono’, ‘hapa’ dibaca ‘opo’.
Adalah Melchior Leijdecker, seorang pendeta tentara yang berlatar pendidikan kedokteran, atas perintah VOC, yang menginisiasi pemisahan kata Tuhan dan tuan. Pada masa sebelumnya, Kata tuan, ditulis dalam ejaan kala itu , “toewan”, dimaknai ganda. Toewan bisa berarti Tuhan seperti yang dipahami sekarang, sekaligus “tuan” yang setara dengan kata majikan, pada konteks manusia. Lalu lewat pertimbangan Leijdecker, makna kedua kata itu dibedakan dengan jelas. Meskipun sama-sama bermakna sebagai sesuatu yang dijadikan curahan pengabdian, namun kata Tuhan kemudian menempati posisi tertinggi, dikarenakan sifat keilahian yang disematkan, sedang “tuan” dicukupkan pada konteks insani, makhluk ciptaan ilahi. Apakah kebiasaan menambahkan aksara “h” pada kata-kata tertentu itu juga merupakan pengaruh dari unsur Hu? Belum ada yang bisa menyimpulkannya
Lema tuan sendiri, bukan kata yang baru bagi penghuni kepulauan ini. Melayu menggunakannya, demikian pula Jawa. Setelah ditelusur, istilah itupun tidak murni satu lema, tapi merupakan gabungan dua kata yang induknya sama-sama ke sansekerta. Keduanya adalah Tu dan VanTu artinya Pemberi kasih sayang, yang oleh bahasa Ingris diterjemahkan dengan “God of Love”. Lalu bersertanya, kata “van” yang kemudian diserap menjadi “wan”, artinya “pujian”. Tuwan (toewan) pada perjalanannya, digunakan sebagai sapaan. Letaknya berada didepan nama seseorang yang dihormati. Semacam sebutan Paduka, Yang mulia, Yang tercinta atau Tulisan penyapa pada surat masa kini : Yang terhormat (Yth).
Konon, Tu adalah kata yang akrab dengan kebudayaan nusantara. Dugaannya, karena pengaruh paham “Kapitayan” yang disinyalir pernah besar dan dianut oleh sebagian besar penguhuni kepulauan ini dimasa lalu. Ajaran spiritual yang meyakini adanya Zat penguasa mutlak disifatkan sebagai “Tan Keno Kinoyo Ngopo”, tak bisa diperkirakan, tak mampu diapa-apakan. Bahkan, bisa jadi, “Tan Keno Kinoyo Ngopo” juga bermakna “Yang tak mampu dinamai” karena agung dan sucinya. Apakah pemaknaan ini juga yang mendasari kenapa  para ahli bahasa sebelum Leijdecker kebingungan mencari padanan kata God ?
Manifestasi atas penyifatan adikodrati yang dianggap sumber segala sumber itu, terpancar pada segala hal yang punya unsur kata Tu dan To. Baik yang negatif atau positif, hakikinya berangkat dari awal yang sama.  Pemeluk Kapitayan meyakini adanya kekuatan supranatural pada wa-tu, tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ban, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, tu-rumbuhan, to-san, to-pong, to-parem, to-ya. Saat melakukan ritual pemujaan, para penganut kapitayan juga menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu. Barangkali, sistem kepercayaan dan tatacara peribadatan seperti inilah, oleh para pelancong kemudian disebut sebagai animisme dan dinamisme. Saya belum mendapatkan catatan kesaksian atas riwayat Kapitayan. Tampaknya sejarah konvensional belum banyak menelusur mengenai isu ini. Mencari kemungkinan tanda-tanda tertulis atau bentuk visual lain yang menjadi saksi dan bisa memverifikasi keberadaannya.
Berselancar dalam liuk-liuk kata dan akarnya ibarat meniti jaring laba-laba. Luas dan terkesan berpencar, tapi ternyata punya kaitan satu sama lain.  Dari sebuah kata Hudikemudian hari orang mengenal God, kemudian Tu menjadi Tuwan hingga Tuhan. Layaknya resonansi ide yang menggelinding lalu diterjemahkan bahasa-Bahasa. Setidaknya, beginilah gambaran, bagaimana kebudayaan dari masing-masing peradaban berusaha melukar misteri keberadaan Sang Pencipta, menafsirnya lewat nama-nama. Mencicil pemahaman tentang Tuhan melalui rangkai riwayat kata. Seperti yang saya lakukan. Tentu saja, belum tentu benar dan sempurna. Bukankah ini hanya mengangsur dan belum final?
“When one is united to the core of another, to speak of that is to breathe the name HU, empty of self, filled with love” Kata Rumi dalam puisi.

Sumber :  http://bahasa.kompasiana.com/2013/02/10/berawal-dari-hu-singgah-pada-god-telusur-menuju-tuhan-532976.html

Terima kasih kepada : Tuan Erik Supit atas info yang menarik untuk dikongsi ini....semoga Allah SWT melimpah rahmatNya ke seluruh alam, Amiin...........

Maaf ye, bahasa pengantar nya B. Indonesia.....malas nak tukar2 terjemah dah .......